Perjuangan untuk membangun Indonesia tak
henti-henti berlanjut dari masa ke masa. Sebelum merdeka, Indonesia memiliki
veteran yang berjuang dengan semua kemampuan fisikal, intelektual, hingga
spiritual. Kini, Jutaan masyarakat mengabdi sesuai keahlian dan bidang
masing-masing demi tercipta Indonesia maju.
Dari generasi ke generasi, semangat
berlomba-lomba membangun Indonesia menguat di berbagai sektor kehidupan. Hal
ini muncul sebagai implikasi dari rasa kebanggaan dan kebahagiaan rakyat,
memiliki Indonesia yang telah berdaulat. Setelah 3,5 abad terjajah secara fisik
dan psikis.
Namun, atmosfir kebahagiaan ini dikacaukan beberapa
oknum penyelenggara negara. Beberapa dari mereka justru menciptakan atmosfir
ketakutan terhadap hukum secara masif. Ketakutan yang dapat mencanggungkan
langkah rakyat bergerak lebih ekspresif dan menikmati kekayaan bangsanya. Hukum
yang tajam ke bawah menjadikan rakyat kecil kembali terjajah secara moral.
Salah satu contohnya, rakyat kecil tuna hukum
bernama Busrin (48) dari
Probolinggo. Ia harus menghadap
meja hijau karena didakwa merusak ekosistem sebab memotong sedikit mangrove
untuk persediaan kayu bakar di rumah. Ia
divonis 2 tahun penjara dan membayar denda Rp. 2 miliyar. Setara dengan hukuman
rata-rata koruptor yang melahap uang rakyat miliaran rupiah. Kasus seperti ini
dapat mengurungkan keinginan kalangan menengah ke bawah mengeksplorasi alamnya
dikarenakan rasa takut. (news.metrotvnews.com, 20 November 2014, berjudul : Busrin Dipenjara, Warga Pesisir Takut Tebang Mangrove Lagi)
Padahal, rakyat kecil mestinya lebih berhak
merasakan kekayaan bangsa. Sebab mereka didominasi kaum yang memiliki kepapaan
luar biasa. Dibuktikan dengan masih banyak orang bodoh, miskin, terdesak
kebutuhan pokok dan buta huruf di kalangan mereka. Oleh sebab itu, diharapkan para
penegak hukum lebih menggunakan hati nurani untuk memahami ‘rasa keadilan’ yang
hidup dalam masyarakat. Agar diskrimisi
semacam ini tidak terulang kembali.
Hal itu, sesuai Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang nomor 48
tahun 2009 menyebutkan “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Adil bukan berarti ‘sama’, tapi ‘membagi sesuatu sesuai proporsi’. Maka, Setiap pelanggaran harus divonis sesuai
proporsi tingkat kejahatan yang dilakukan. Tidak menyamakan kejahatan kelas
teri dengan Extra Ordinary Crime
(kejahatan luar biasa).
Pancasila pada sila ke-5 mengakatakan : “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”. Seluruh bagian instrumen kenegaraan
(termasuk penegak hukum), harus memberikan keadilan dalam bersosial antar
individu kepada seluruh rakyat Indonesia.
Keadilan adalah hak seluruh rakyat
indonesia, bukan hak orang yang mampu membelinya. Tak boleh ada lagi sistem
kasta, bahwa brahmana dan ksatria (kaum elit) yang harus diutamakan. Sebab
dalam sistem pemerintahan Indonesia, semua rakyat memiliki kedudukan dan hak
yang sama. Sehingga, ruh-ruh budaya kasta --yang secara tidak langsung-- masih berlanjut hingga sekarang, harus segera
dihapuskan dari jiwa para penegak hukum.
Selain itu, pengadilan negara tidaklah
bertugas mencari-cari kesalahan warga, mengurung dan menunjukkan kekuasaannya sebagai
pemegang tampuk hukum. Itu hanya memunculkan kesan adigang adiguna (sok hebat
sok kuasa) dalam pandangan masyarakat.
Namun, tugas pengadilan adalah memutuskan perkara secara bijaksana, profesional
dan independen, tidak terintervensi pihak manapun. Tidak boleh ada keputusan
yang timbul karena pengaruh intervensi.
Kemudian, dalam pengadilan hukum di
Indonesia terdapat hakim, advokat, konsultan hukum dan jaksa yang kesemuanya
adalah kaum terpelajar. Penyelenggara hukum yang notabene kaum terpelajar,
sangat tidak layak melakukan premanisme dengan memaksakan kehendak dalam
menelurkan keputusan. Tingkat intelektualitas dan penguasaan ilmu hukum yang
tinggi, tidak dapat menjadi alasan mereka lupa pada transparansi dan musyawarah
kepada masyarakat terkait. Hal ini wajib
dibudayakan agar nilai kredibilitas (Trust)
penegak hukum tetap eksis di hati masyarakat.
Nilai ‘Trust’
(kepercayaan) sangatlah penting bagi penyelenggara hukum negara. Penurunan
tingkat keparcayaan dapat, mengurangi semangat untuk mentaati. Sebab negara dan
rakyat dapat dikiaskan seperti orang tua dan anak. Hubungan orang tua dan anak
harus ada saling kepercayaan, agar timbul kesukarelaan sang anak untuk mentaati
orang tua. Maka, negara yang
penyelenggara hukumnya tidak lagi dipercaya masyarakat, bagai orang tua yang
tidak lagi dipercaya anaknya. Hal ini sangat berbahaya karena berimplikasi pada
keinginan berbuat semau diri. Kemudian, lahirlah gerakan radikalisme dan
anarkisme sebagai ekpresi ketidakpuasan terhadap jalan negara.
Positif dan Adil
Penyelenggara hukum harus memperbaiki diri
dan konsisten berprilaku postif. Sebab seseorang yang ingin memperbaiki lingkungannya
harus memulai dari dirinya sendiri. Pihak intern (penyelenggara hukum) yang
positif, akan menebarkan kepositifan pula pada pihak ekstern (masyarakat). Jadi
karakter dari penyelenggara hukum sangat berdampak kuat pada perilaku rakyat.
Penyelenggara hukum secara tidak langsung dapat
dimisalkan seperti ‘guru’. Sebab, Guru
adalah ‘Gu’ yaitu ‘digugu’ (ditaati) dan ‘Ru’ yaitu ‘ditiru’ (diikuti setiap
perbuatannya). Begitu pula penyelenggara
hukum, setiap yang diperintahkan akan rakyat patuhi dan setiap yang dicontohkan
akan rakyat tiru. Maka, penyelenggara hukum harus kompak menumpas perbuatan
negatif seperti tindak pencucian uang, intervensi, premanisme, egoisme dan
ketertutupan. Agar masyarakat menjadi canggung untuk melakukan pelanggaran
hukum.
Ketika pihak penegak hukum dan rakyat telah
dalam atmosfir positif, maka tugas berikutnya adalah ‘menjaga kestabilan’.
Pemerintah dan penegak hukum harus satu suara untuk konsisten berlaku adil.
Sebab, keadilan dapat menahan gejolak dalam masyarakat. Ketika keadilan telah
ditegakkan , maka masyarakat akan tenang dan nyaman dengan keadaan itu.
Semua ini mesti dijalankan sesegera mungkin
dan merata di seluruh Indonesia. Agar tercipta masyarakat adil makmur atas
berkat rahmat Tuhan yang Maha Esa sebagai mana yang diamanatkan dalam Pembukaan
UUD 1945.
Oleh: Ardian Mahardika, Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Walisongo, Ketua Bidang PTKP HMI Komisariat Persiapan FEBI Walisongo Semarang 2018-2019
0 Komentar