Oleh: Eka Khumaidatul Khasanah
Penulis adalah Mahasiswi Fakultas
Ekonomi Islam dan Bisnis UIN Walisongo Semarang dan Pengamat Ekonomi di LeSAN
(Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme)
Beberapa hari lagi, negara-negara yang
bergabung dalam ASEAN (Association of South East Asia Nation) akan
memasuki penerapan perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara yang bernama MEA
(Masyarakat Ekonomi ASEAN). Diberlakukannya sistem ini, diharapkan dapat
meningkatkan daya saing ekonomi kawasan ASEAN, terutama negara Indonesia.
Tentunya, Indonesia memiliki peluang yang besar ketika diterapkan MEA 2015.
Salah satunya adalah peluang pasar yang semakin besar dan luas bagi produk
Indonesia. Dengan jumlah penduduk kurang lebih 500 juta jiwa dan tingkat
pendapatan masyarakat yang beragam, dapat menunjang adanya kesempatan
memperbaiki kesejahteraan hidup.
Hal tersebut dapat terwujud ketika SDM
(Sumber Daya Manusia) Indonesia telah siap sebagai tenaga kerja profesional
dengan tingkat keahlian yang baik. Lalu, siapkah Indonesia dalam menghadapi
MEA? Melihat realita yang ada, Indonesia belum siap dalam menghadapi MEA.
Indonesia belum memiliki cukup kemapanan ekonomi serta kreatifitas dalam
menunjang persaingan kedepan. Apalagi, negara kita masih memiliki banyak
permasalahan internal yang belum terselesaikan dengan baik. Misalnya saja kasus
korupsi yang tidak tuntas, pendidikan yang belum memadai, pengangguran yang
menjamur, kemiskinan yang merajalela dan masih banyak lagi. Sehingga, hal ini
akan menghambat bahkan justru akan menjatuhkan Indonesia dalam persaingan
global yang kompetitif. Padahal negara–negara ASEAN lainnya target yang di
unggulkan pada bidang tertentu. Sebagaimana Malaysia telah
mentargetkan unggul dalam bidang pariwisata dan rumah sakit. Thailand
mengunggulkan industri otomotif dan pertanian. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Ditilik dari segi Kualitas SDM pun,
Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara penggagas ASEAN
lain. Hal ini dibuktikan berdasarkan indeks kompetensi yang dikeluarkan
oleh World Economic Forum pada tahun 2013. Indonesia menempati
urutan ke-50 atau lebih rendah dari Singapura (ke-2), Malaysia (ke-20), dan
Thailand (ke-30). Adapun rendahnya kualitas SDM ini, dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Antara lain: kesadaran manusianya untuk meningkatkan kualitas
diri, mind set bangsa Indonesia yang kurang ditata, rendahnya
fasilitas yang diberikan untuk menunjang pendidikan, kurang tepat dalam
memberikan sistem pembelajaran dan masih banyak lagi hal lain yang dapat
mempengaruhi kualitas SDM masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, Indonesia bisa
dikatakan belum siap dalam menghadapi MEA kedepan. Produsen Indonesia sendiri,
belum bisa memenuhi standar kebutuhan pokok yang dibutuhkan. Itu dari segi
eksternalnya. Dilihat dari segi internal, Indonesia pun belum cukup mumpuni SDM
nya. Seperti keterampilan yang bagus, pengetahuan yang luas, maupun kemampuan
berbahasa. Padahal standar tersebut akan selalu meningkat seiring
tingginya persaingan antar tenaga kerja negara-negara Asia Tenggara.
Dengan dibukanya MEA, bisa dipastikan
banyak tenaga kerja dari luar negeri masuk Indonesia dengan menempati posisi
mapan dalam pekerjaannya. Sementara rakyat Indonesia, kebanyakan mengirim
tenaga kerja keluar negeri sebagai buruh (pekerja kasar).Seperti: sopir, PRT
(Pembantu Rumah Tangga), satpam dan lain-lain. Sehingga, rata-rata yang tidak
bekerja di luar negeri, dia menjadi buruh di negaranya sendiri. Bahkan, bila
yang tidak memiliki kemampuan sama sekali bisa dipastikan tidak akan memiliki
pekerjaan (menganggur).
Oleh karena itu, baik pihak pemerintah
daerah maupun pusat harus melek dalam artian tanggap untuk
mempersiapkan masyarakatnya agar lebih siap kedepannya. Selain pembenahan SDM
melalui perbaikan pendidikan di Indonesia, pola pikir juga merupakan aspek
penting yang perlu diperhatikan. Khususnya pola pikir tenaga kerja harus sesuai
dengan trend atau sesuai dengan perkembangan zaman. Mulai dari
melatih berfikir analitis, mencari tahu dengan berbagai observasi,
pembelajaran yang diarahkan untuk mampu merumuskan masalah, hingga menekankan
pentingnya kerjasama dan kolaborasi dalam penyelesaian masalah.
Selain memperbaiki SDM Indonesia, hal
yang harus di tekankan adalah memperbaiki tingkat produktifitas masyarakat
Indonesia. Mengenai hal ini, Indonesia perlu menerapkan pemikiran Ibnu Khaldun,
khususnya pemikiran tentang produksi. Menurut Ibnu Khaldun, negara maju itu
diukur dari seberapa banyak mereka memproduksi suatu komoditi. Dimana tenaga
kerja manusia sangat berperan penting dalam kegiatan tersebut. Dengan demikian,
pemerintah Indonesia harus membina rakyatnya untuk berproduksi. Serta bekerja
sama dalam mensukseskan penghasilan produk tersebut.
Mengingat masyarakat Indonesia sendiri
masih cenderung konsumtif, maka inilah yang harus dihindari. Sebab, hal itu
akan berakibat buruk bagi perekonomian Indonesia kedepan. Ini akan membuat
Indonesia jadi bergantung pada negara lain. Sehingga, semua kebetuhan yang
seharusnya bisa diproduksi sendiri malah harus import. Dan hal
inilah yang menyebabkan kemerosotan ekonomi Indonesia. Jika dilihat dari segi
bahan bakunya, Indonesia pun memiliki SDA yang melimpah. Harusnya, negara ini
pun bisa maju. Namun, karena tidak bisa mengelola dengan baik, maka negara
lainlah yang memanfaatkannya. Dan negara lain itulah yang diuntungkan.
Mestinya, hal ini bisa diantisipasi dengan kesadaran dalam mengelolanya untuk
bisa diproduksi sendiri. Bukan sedikit-sedikit bergantung pada negara lain.
Oleh karena itu, mental konsumtif ini
harus dibuang jauh-jauh dari pikiran masyarakat Indonesia. Indonesia harus bisa
membangun negerinya dengan jerih payah sendiri. Bukan dengan bantuan
pihak-pihak lain, yang diuntungkan secara sepihak. Sebab, itu sama saja dengan
menjadi buruh di negara sendiri. Dengan berbekal pengembangan kreasi dan
inovasi, Indonesia pasti bisa menghadapi MEA dengan baik. Sehingga, negara kita
tidak akan terpental dalam persaingan perekonomian yang telah ada. Wallah
a’lam bi al-shawab
0 Komentar