Menghindari Jebakan Pengangguran


Menghindari Jebakan Pengangguran
Oleh : Muhammad Iqbal Haidar*
Pada awal Desember 2017 banyak media yang merilis berita tentang peran kelas menengah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sri Mulyani, Menteri Keuangan menyebutkan bahwa jumlah kelompok kelas menengah dari 2002 sampai 2016 telah  meningkat drastis dari 7% menjadi 21%.  Menurutnya, pada dua dekade terakhir kelas menengah telah mempengaruhi pertumbuhan Produk Domestik Bruto sebesar 27%. (Harian Kontan, 4/12/17)
Namun, di sisi lain kondisi perkembangan terbaru kelompok 40% lapisan bawah, tengah mengalami penurunan tingkat konsumsi rumah tanga. Pada triwulan III-2017 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat konsumsi kelompok 40% lapisan bawah menurun menjadi 4,93%. Guna meningkatkan konsumsi, beberapa pemangku kebijakan mengeluarkan wacana-wacana penyelesaian masalah.
Dari pihak Kementerian Tenaga Kerja berfokus pada pembenahan skill tenaga kerja. Wacananya, kementerian tenaga kerja akan membuat program peningkatan keterampilan kerja pada 2018. Dengan program tersebut, diharapkan terjadi peningkatan keahlian 20% angkatan kerja baru. (Harian Kontan, 13/12/17)
Kebijakan tersebut memang akan berdampak terhadap meningkatnya taraf hidup masyarakat, peningkatan produksi, dan tentunya akan memperbaiki tingkat konsumsi masyarakat yang selama hampir satu tahun ini menurun. Namun, kebijakan tersebut juga akan semakin membebani APBN yang telah ditambal sulam dengan sangat susah payah. Yang perlu diperhatikan lagi, 2018 adalah tahun politik. Tentunya APBN 2018 akan lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya.
Sebagai solusi alternatif, pemerintah bisa mengembangkan keterampilan masyarakat melalui jalur pendidikan, atau dengan kata lain pengembangan kualitas SDM. Pemerintah telah mengalokasikan dana pendidikan 20% dari APBN yang disebar ke 20 kementerian yang punya peran terhadap kemajuan pendidikan. Namun, selama ini tanggung jawab lebih besar tertumpu kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Kemenristek Dikti). Padahal seharusnya 20 kementerian yang menerima pembagian alokasi dana pendidikan harus bergotong royong sesuai spesifikasi masing-masing. Ini menunjukkan bahwa koordinasi antar kementerian kurang terjalin.
Selain itu, kurang bagusnya kualitas SDM di Indonesia juga salah satunya diakibatkan oleh minimnya dana yang dialokasikan untuk riset dan pengembangan. Pada tahun 2017 tercatat dana yang dialokasikan pemerintah untuk riset dan pengembangan hanya 0,25% per PDB. Angka ini merupakan yang terendah se-Asia Tenggara. Untuk 2018 mendatang, Menteri Riset, Teknologi, da Perguruan tinggi sudah megusulkan penambahan dana riset dan pengembangan menjadi 2% per PDB. Itu merupakan satu langkah yang sangat bagus guna pengembangan kualitas SDM dan peningkatan jumlah lapangan kerja dalam bidang penelitian. Namun, jika Indonesia ingin dibuat lebih maju, pemerintah harus berani mengalokasikan dana riset dan pengembangan di atas 4% per PDB. Negara maju seperti Korea Selatan mengalokasikan dana riset dan pengembangan sebesar 4,2% per PDB.
Jika melihat data pengangguran Badan Pusat Statistik, mulai 1986 sampai 2017 tingkat pengangguran tertinggi selalu diraih oleh lulusan SMA dan SMK. Sedangkan jumlah pengangguran terendah berdasarkan tingkat pendidikan adalah lulusan diploma kemudian disusul oleh lulusan universitas. Melihat realita ini, jika pemerintah Indonesia ingin menurunkan jumlah pengangguran salah satu caranya adalah dengan meningkatkan minat masyarakat untuk meneruskan jenjang pendidikan ke tingkat diploma dan universitas. Pastinya, akses untuk melanjutkan ke jenjang diploma dan universitas juga harus dibuka lebar-lebar. Misalnya dengan menyediakan banyak beasiswa bagi keluarga tidak mampu dan juga biaya kuliah yang terjangkau. Realitanya selama ini, biaya kuliah dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sehingga mengakibatkan banyak masyarakat yang enggan melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi dan merasa sudah cukup dengan hanya lulus SMA atau SMK. Padahal risiko menjadi pengangguran untuk lulusan SMA dan SMK adalah yang tertinggi.
Upaya-upaya di atas adalah perbaikan dari sisi penawaran tenaga kerja. Perbaikan secara menyeluruh tidak hanya dilakukan dari satu sisi saja, akan tetapi perbaikan dari sisi permintaan tenaga kerja juga harus dilakukan. Penyerapan tenaga kerja bisa terjadi secara optimal jika iklim usaha dalam suatu wilayah atau negara baik.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan dalam Data Bulanan Sosial Ekonomi 2017 bahwa jumlah usaha di Indonesia naik 17,51% selama satu dasawarsa antara 2006-2016. Tahun 2006 jumlah usaha di Indonesia sebanyak 22,73 juta unit, sedangkan di 2016 angkanya meningkat menjadi 26,71 juta usaha. Data tersebut menunjukkan adanya peningkatan jumlah usaha yang belum terlalu signifikan. Terlebih, 98,33% unit usaha tersebut tergolong usaha mikro kecil yang sulit berkembang dan produktifitasnya rendah karena bersifat informal.
Oleh karena itu, agar jumlah usaha di Indonesia meningkat secara signifikan dan usaha mikro kecil mampu berkembang sehingga dapat naik kelas, pemerintah perlu menciptakan iklim bisnis yang mendukung. Selain itu, tenaga kerja potensil akan sulit terserap jika pemerintah tidak mendorong perkembangan sektor industri padat karya terutama di sektor perdagangan. Wallaahu a’lam bi al shawab.
*Salah Satu Pendiri HMI Komisariat FEBI Walisongo Semarang. Saat ini menjadi Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Jateng dan Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang


Posting Komentar

0 Komentar