Mendidik Dengan [Tanpa] Kekerasan

Mendidik Dengan [Tanpa] Kekerasan

Guru merupakan profesi yang sangat mulia. Mereka bukan hanya dianggap sebagai seorang yang menyampaikan pelajaran yang kemudian menyandang gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, karena hanya mendapat bayaran kecil saja. Namun guru, memiliki peran yang begitu penting dalam membina mendidik tunas bangsa, penentu generasi selanjutnya serta pencetak karakter anak bangsa. Sehingga eksistensi guru sangat mempengaruhi pembangunan peradaban generasi mendatang. Seperti kata pepatah oaring jawa, nama guru berarti “digugu lan ditiru”.
Selain daripada itu, peran utama seorang guru adalah sumber inspirasi, penyambung semangat siswanya serta selalu menerapkan unsur motivatif dalam pengajarannya. Spiritnya adalah semangat juang untuk negeri agar mencipta kemajuan.guru selalu memberikan tauladan-tauladan kepada para siswa karena setiap langkah sikapnya akan menjadi percontohan bagi siswa-siswa. Bukan hanya itu, seorang guru tentu harus selalu mengawasi perkembangan dalam setiap proses belajar siswa-siswanya.
Semua itu memang hakikat yang harus dimiliki oleh semua guru dan sudah menjadi indikator umum dalam dunia pendidikan. Namun sudah bisa dikatakan berhasilkah peran guru di Indonesia? Ini yang seharusnya menjadi pembahasan penting sebagai bahan evaluasi. Agaknya, beberapa dekade terakhir, peran guru yang seharusnya menjadi karakter percontohan, kini banyak mengalami keprihatinan. Pasalnya, banyak terjadi kekerasan yang dilakukan oleh beberapa guru di nusantara ini.
Para oknum guru yang melakukan kekerasan di sekolah, sebagian besar mengatakan, bahwa kekerasan yang mereka lakukan kepada siswa-siswanya merupakan bagian dari tindakan dalam dunia pendidikan atau bisa dikatakan sebagai bagian dari mendidik mereka agar dapat lebih disiplin. Doktrin ini agaknya berhasil menguasai pikiran guru-guru Indonesia dalam menghadapi perilaku siswanya yang bandel. Sehingga angka kekerasan disekolah ini semakin meningkat.

Jumlah Kekerasan Guru pada Siswa Meningkat

Menurut Direktur Pembinaan Pendidikan Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Sukiman, ia mengatakan, berdasarkan data International Center for Research on Women (ICRW) Pada 2015, sebanyak 84 persen siswa di Indonesia mengaku pernah mengalami kekerasan di sekolah. Angka ini cukup tinggi dibanding dari tahun-tahun sebelumnya. Dan dari angka tersebut mengindikasikan perbuatan anarkis guru kepada siswa telah menjadi kebiasaan.
Kasus kekerasan baru-baru ini dilakukan oleh oknum Guru Pendidikan Agama Islam SMP N 2 Banyumas dengan latar belakang sang siswa mengganggu kekhusyukan sholat guru, sehingga memicu amarah guru tersebut sehingga membuat guru lepas kontrol memukuli siswa menggunakan sapu ijuk seusai sholat Jumát. (Koran Tribun Jateng: 9 Agustus 2018)
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), seperti dilansir keterangan tertulis Kemdikbud, Selasa (14/6/2016), sepanjang Januari 2011 sampai Juli 2015 ada 1.880 kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan. Tentu angka yang tidak sedikit dan penuh keprihatinan. Sekolahan, tempat yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi anak-anak, sumber keceriaan dan keaktifan mereka dalam proses belajar, kini tak sedikit dari mereka harus merasakan pahitnya dinamika di sekolah.

Perlunya Refleksi PribadiGuru

Guru-guru sangat perlu melakuakan refleksi diri. Logikanya, secara otomatis guru akan memahami dan melakuakan tugas pentingnya sebagai seorang guru yang dijadikan sebagai sumber segala pembelajaran. Secara karakter maupun ilmu pengetahuan. Refleksi diri bisa dijadikan awal sebelum memulai sebuah pengajaran yang kemudian dapat dijadikan salah satu evaluasi kesehariannya. Dengan demikian, harapannya adalah agar  bisa mencapai peningkatan mutu pendidikan akademik dan pendidikan karakter.
Sebelum seorang guru memasuki dunia pengajaran, setidaknya seorang guru sudah melalui sertifikasi kelayakan secara karakter. Hal inilah yang mungkin lebih ideal dijadiakan indikator kelayakan seorang guru untuk  mengajar. Baru setelah itu kemampuan akademiknya. Andai itu dilakukan, maka dapat dipastikan, kekerasan dalam sekolah sangat minim terjadi. Namun karena masih ada beberapa guru yang belum beres dengan dirinya masing-masing, maka beberapa kasus kekerasan masih sering terulang.
Maka dari itu, marilah kita memulai sejak saat ini untuk membiasakan sifat-sifat kemanusiaan. Melatih sifat sabar dan sadar akan kehidupan sosial. Memperbaiki hubungan dengan semua orang serta disemua kalangan. Semoga dengan demikian, nantinya kualitas karakter terbentuk, bukan hanya melalui guru saja, namun semua esensi kehidupan. Dan semoga kekerasan pada siswa segera mereda dan tidak lagi kembali terjadi. Wallahu a’lam.
Oleh: Dewi Nur Latifah, Mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Walisongo Semarang; Guru di Taman Anak Bina Insani.

Posting Komentar

0 Komentar